EFEK PEMANASAN IKLIM GLOBAL TERHADAP PENINGKATAN VEKTOR PENYAKIT

Posted by Nutrix Minggu, 14 April 2013 0 komentar
Pemanasan iklim global terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia akan meningkatkan kelembaban udara yang tinggi lebih dari 60% dan merupakan keadaan dan tempat hidup yang ideal untuk perkembang-biakan nyamuk aedes egypti,anopheles dan culex sebagai vektor penyakit DBD,malaria dan kaki gajah.
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) sepanjang tahun 1976-2008 ada 30 jenis penyakit baru muncul akibat perubahan dan pemanasan iklim global seperti penyakit DBD,kolera,diare,virus ebola dan lainnya.
Kelembaban udara yang tinggi ini menyebabkan terjadi imigrasi tempat perindukan dan habitat vektor penyakit menular nyamuk aedes egypti,anopheles dan culex dari daerah subtropis ke daerah tropis sehingga terjadi peningkatan populasi nyamuk vektor penyakit DBD,malaria dan kaki gajah.
Indonesia sendiri dengan adanya anomali cuaca ini penyebaran penyakit menular melalui water related insect vector mechanism atau sejenis penyakit yang ditularkan oleh gigitan serangga yang berkembang biak didalam air seperti penyakit DBD,malaria dan kaki gajah ditambah lagi oleh keadaan sanitasi lingkungan yang jelek dimana-mana, prevalensi penyakit DBD,malaria dan kaki gajah akan meningkat dengan tajam.
International Panel on Climate Change(IPCC) telah mempredeksi bahwa prevalensi penyakit DBD di Indonesia dan daerah lain di dunia akan meningkat drastis sampai 70 kali lipat pada tahun 2070 oleh karena adanya anomali cuaca dunia.
Jadi perlu sekali diwaspadai bahwa penyebaran penyakit menular tidak lagi cukup berdasarkan pada pola epidemik semata tetapi dapat terjadi setiap saat oleh adanya anomali cuaca global yang tidak menentu.
Kementerian Kesehatan (Kemkes) bekerja sama dengan Research Center for Climate Change, Universitas Indonesia (RCCC-UI) dan didukung oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) melakukan kajian pemetaan dan model kerentanan kesehatan akibat perubahan iklim.
"Indonesia merupakan wilayah endemik untuk beberapa penyakit yang perkembangannya terkait dengan pertumbuhan vektor pada lingkungan, misalnya Demam Berdarah Dengue dan Malaria," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemkes Tjandra Yoga Aditama
Perubahan iklim menjadi ancaman bagi berbagai sektor termasuk sektor kesehatan dimana dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bukti ilmiah yang diperoleh hingga saat ini banyak menunjukkan bahwa variabilitas dan perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap epidemiologi penyakit yang ditularkan oleh vektor (vector-borne disease), air (water-borne disease), dan udara (air-borne disease).
"Di Indonesia terdapat tiga penyakit yang perlu mendapatkan perhatian terkait perubahan iklim, yaitu Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan diare," ujar Wilfried.(Direktur Penyehatan Lingkungan Kemenkes). Melihat dampak perubahan iklim tersebut maka isu ini akan menjadi isu besar dalam bidang kesehatan di 2015. 
Dikutip dari jurnas.com tentang perubahan iklim. 2015,Indonesia menargetkan angka kesakitan akibat malaria atau Annual Parasite Incidence (API) dapat mencapai 1 per 1.000 penduduk. API Indonesia Ditarget 1 per 1.000 Penduduk di 2015. Berdasarkan data Kemenkes di 2012, API Indonesia masih di angka 1,69 per 1000.
"Sebenarnya beberapa daerah di Indonesia sudah meninggalkan angka 1 sesuai target 2015, namun karena di wilayah Indonesia timur masih tinggi maka rata-rata nasional ditetapkan pada 1,69 per 1000," kata Tjandra.
Annual Parasite Incidence (API) adalah angka kesakitan malaria berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium per 1000 penduduk dalam 1 tahun dinyatakan dalam permil (‰). Dirjen P2PL menyebutkan, ada sekitar 208 juta orang Indonesia saat ini tinggal di daerah yang API sudah mencapai satu bahkan kurang dari satu, atau tengah dalam proses eliminasi malaria.
Disamping itu, selama tiga tahun terakhir juga dilakukan penguatan upaya penemuan kasus melalui rapid diagnostic test (RDT), namun hal ini juga membuat laporan penemuan kasus malaria meningkat, sehingga dianggap seolah-olah kasusnya tidak turun secara tajam.
"Persentase penggunaan diagnosis dengan mikroskop dan RDT sudah lebih dari 80 persen, angka ini naik dari sebelumnya yang hanya 30 persen. Sementara itu sekitar 85 persen orang yang terjangkit malaria sudah diobati dengan ACT, yang sangat efektif menurunkan angka kematian," kata Tjandra.
Di tahun 2009, ada sekitar 900-an orang Indonesia yang meninggal karena malaria, dengan penggunaan ACT angkanya turun menjadi sekitar 400 di 2010 atau turun sebesar 50 persen, kemudian jumlah yang meninggal menjadi hanya sekitar 100 di tahun 2011."Ada peningkatan penggunaan obat yang baik sehingga angka kematian dapat diturunkan secara tajam," katanya. 


note :
ayo sob kita ikut berkontribusi mengurangi pemanasan global
GO GREEN !!!
BACK TO NATURE !!! 

0 komentar:

Posting Komentar

TAYANGAN HALAMAN